#kabardaritimur: Kuceritakan Papuaku Kepada Indonesiaku

#kabardaritimur mengunjungi pembaca sekali lagi, setelah sekian lama tidak terdengar kabarnya (klik #kabardaritimur: Srikandi Kesehatan Asli Papua). Dengan ciri khas kegalauan yang bercampur optimisme, penulis menghadirkan permasalahan kesetaraan gender dan pernikahan dini dalam tulisannya. Kegalauannya tidak sebatas pergulatan di dalam hati, namun mewujud dalam aksi positif.

-DoVic 130819-

Banyak yang bertanya kenapa artikel #kabardaritimur tidak terdengar lagi. Apakah sudah berakhir? Beberapa bulan terakhir membuat saya merasa kecewa dan ingin mengakhiri pengabdian ini. Seakan apa yang telah dilakukan selama ini sia-sia dan tak berarti. Apakah saya terlalu bermimpi terlalu tinggi dan memaksakan diri untuk memberikan suatu perubahan? Aku terdiam dan melihat Papuaku dari taman Perkantoran Gubernur Provinsi Papua Barat. Berharap menemukan kembali sebuah semangat untuk melanjutkan sisa beberapa purnama lagi. Dalam diamku, aku melihat sebuah catatan kecil di handphone-ku. Ada beberapa kata penyemangat dari beberapa orang, baik yang berasal dari Papua Barat bahkan dari luar negeri. Sebuah kalimat yang membuatku bertanya kembali ke diriku:

Apa yang memotivasimu dan membuatmu memilih Tanah Papua? –Dinda—

Satu kalimat ini menggoncangkan jiwaku dan mempertanyakan kembali komitmenku pada Tuhan untuk berada di sini. Aku mengingat kembali betapa aku mencintai Tanah ini, masyarakatnya, budayanya, alamnya dan bagiku Papua adalah sebuah perjanjianku dengan Tuhanku. Sampai kusadari Tuhanku tidak membiarkanku berjalan sendiri untuk menjadi berkat untuk Tanah ini. Aku teringat sebuah perjuanganku membawa nama Papua Barat dalam sebuah pertemuan pemuda skala nasional dalam kegiatan Indonesian Future Leaders Conference (IFLC) yang diselenggarakan pada akhir bulan April 2019 di Kota Makassar dengan keynote speaker Dr. Abraham Samad, S.H., M.H. (Ketua KPK periode 2011-2015), Andi Sudirman Sulaiman, S.T. (Wakil Gubernur Sulawesi Selatan) dan Hendriyadi Bahtiar (Duta ASEAN My World 2030).  Dalam kegiatan itu, setiap delegasi terpilih akan berdiskusi dan memberikan sebuah inovasi penyelesaian masalah dari 5 poin Sustainable Development Goals (SDGs) atau biasa kita kenal dengan Pembangunan Berkelanjutan yang menjadi topik pembahasan dalam kegiatan ini. Adapun poin tersebut adalah akses air bersih dan sanitasi, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, kesetaraan gender, infrastruktur industri dan inovasi, pendidikan bermutu dan perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang kuat.

Sebuah Mimpi Menjadi Nyata!

2.jpg
Penulis memaparkan Equality for Everyone terkait Kesetaraan Gender poin kelima dari SDGs.

Semua tidak semudah yang diimpikan. Saya butuh sebuah perjuangan untuk bisa mengikuti kegiatan IFLC tersebut. Saya harus mengorbankan materi yang saya miliki untuk mengikuti kegiatan ini. Bahkan, saya harus menahan perasaan ketika mendengar ucapan negatif ketika saya mengikuti kegiatan ini. Saya pernah bermimpi untuk menceritakan tentang Papua di kancah nasional bahkan internasional. Tujuan saya hanya satu yaitu agar orang-orang tidak menilai Papua dari sisi buruknya saja. Sebelum  berada di Papua, dulu saya juga pernah menilai Papua hanya dari sisi buruknya dan saya tidak mau hal ini terus terjadi. Saya hanya melihat dan mendengar Papua dalam konotasi negatif dan membuat saya berfikir Papua itu buruk. Namun semua berubah ketika saya merasakan Papua itu sebenarnya. Hal negatif pasti ada, tapi kita tidak boleh lupa untuk menceritakan hal positif tentang Papua.

Di tengah kondisi keuangan yang pas-pasan dan harga tiket pesawat yang melonjak tinggi, saya bertanya pada Tuhanku dalam sebuah doa, Apakah aku harus pergi? Pada akhirnya aku memutuskan untuk pergi menjadi delegasi Papua Barat yang akan membahas tentang kesetaraan gender bersama delegasi-delegasi pemuda yang berasal dari seluruh Indonesia.

Pada saat kegiatan berlangsung, mimpi saya pun terwujud! Saya mendapatkan kesempatan untuk menceritakan Papua kepada seluruh delegasi yang hadir saat itu. Banyak dari mereka yang bertanya-tanya dan baru mengetahui kondisi lain dari Papua. Betapa saya sangat senang, ketika ada beberapa delegasi berkata akan datang untuk mengabdi di Papua, terkhusus seorang delegasi yang berasal dari Bali yang merupakan keturunan Malaysia pun tergerak hatinya untuk mengabdikan diri di Papua. Pada saat itu, Tuhan wujudkan mimpiku secara luar biasa. Saya berdiri di depan delegasi-delegasi dari seluruh Indonesia menampilkan budaya Papua, mengusulkan inovasi kesetaraan gender yang pernah saya singgung dalam tulisan saya pada artikel Di Yaser Misop Eiy Arfak (klik Di Yaser Misop Eiy Arfak).

Mbrey Kenalkan Budaya Arfak

“Papua tidak seburuk yang anda fikirkan!” Inilah kalimat yang ingin aku sampaikan kepada seluruh orang yang hadir pada malam budaya di Rumah Dinas Walikota Makassar. Walaupun saya sendiri dari Papua Barat, tapi saya bertekat untuk membawakan budaya Arfak, Papua Barat untuk diperkenalkan kepada Indonesia melalui delegasi-delegasi yang hadir pada kegiatan IFLC. Pada saat saya mengenakan pakaian adat Papua, semua mata tertuju pada saya dan terheran-heran karena melihat saya hanya menggunakan cawat, manik-manik dan lukisan putih di tubuh saya. Walaupun saat itu saya tidak menggunakan pakaian adat Papua lengkap karena terbentur dengan biaya sewa pakaian Arfak lumayan mahal, tapi saya tetap bangga dan percaya diri untuk mengenakan pakaian tersebut di Rumah Dinas Walikota Makassar pada waktu itu.

3
Penulis dan delegasi dari Bali dan Nusa Tenggara membawakan budaya Arfak, Papua Barat.

Malam itu, saya memperkenalkan budaya Arfak bersama delegasi dari Bali dan Nusa Tenggara. Saat itu, kami menarikan tarian Tumbu Tana yang merupakan salah satu budaya Arfak dan saya menyanyikan sebuah syair yang menurut saya begitu menyentuh hati saya, Ma ingat nadi bak Yesus di ya hacan men nyeni.

Mbusyamei binggon i … dimigyamei binggoni

Nyeni ingat nadia … nyeni ingat sembayanga

Ingat bak Yesusa … ingat bak Kristusa

Yesusa Kristusa

Ya hacan mem nyeni … ya hacan mem jeni

Ba,

Ijem ampon binoni … ipai sisar biyoni

 Nonti nongkom

 Yai gi kel binyeni … yai gi kei bijeni …

Saat menyanyikan syair ini, saya meneteskan air mata, karena akhirnya saya bisa memperkenalkan sisi lain Papua terkhususnya budaya Arfak, walaupun saya seorang Mbrey (pendatang). Saya mengingat Aguam dan Amey yang berkata pada saya di kampung-kampung, Distrik Warmare, “Paman, sekarang ko pu fam Ullo …”, “Paman, jangan …  ko pu fam itu Indou”, “Ale … Paman ko itu Mandacan”. Andai mereka yang ingin memberikan saya marga Papua itu hadir di Rumah Dinas Walikota Makassar, saya hanya ingin berkata “Amey, Aguam.. dani Mbrey Arfak, nani pu mod saja ale!

Pada malam itu, juga saya diberikan kesempatan untuk bercerita tentang Papua dan saya langsung menceritakan tentang masuknya Injil di Tanah Papua, tepatnya di Pulau Mansinam. Saya berkata kepada seluruh yang hadir di Rumah Dinas Walikota Makassar pada saat itu, “Jika Papua saja bisa mengalami peradaban baru semenjak misionaris datang membawa Injil, kenapa Indonesia tidak? Tuhan akan mengirimkan pemuda-pemuda yang dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di negeri ini.” Saya banyak bercerita tentang perubahan di Papua semenjak masuknya Injil di Pulau Mansinam yang bertujuan ingin mengatakan “tidak ada yang tidak mungkin, jika kita mau membaur dan mendengarkan apa yang Tuhan mau.”

Inovasi dari Tanah Papua Juga Harus Diperhitungkan

4
Penulis sedang memaparkan solusi untuk mengatasi permasalahan pernikahan dini dan bahaya dalam bidang kesehatan.

Kesetaraan gender masih menjadi sebuah isu yang hangat di negeri ini. Di seluruh wilayah di Indonesia pasti memiliki kasus pernikahan dini, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan hal ini dapat berujung pada peningkatan angka kematian ibu. Permasalahan kesetaraan gender sudah menjadi perhatian penulis karena hal ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan permasalahan kesehatan dan akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia yang ada di negeri ini.

Ketidaksetaraan gender selama ini menyebabkan rendahnya tingkat pengetahuan perempuan dan kebebasan perempuan untuk mengemukakan pendapatnya. Dampak dari ketidaksetaraan gender ini menyebabkan banyak sekali kasus pernikahan dini yang dipaksakan. Dampak dari pernikahan dini ini adalah tindakan kekerasan dan berdampak pada kualitas generasi yang dihasilkan.

Dewasa ini dalam dunia kesehatan kita sedang berupaya untuk menurunkan angka stunting dan permasalahan status gizi lainnya yang bertujuan untuk menghasilkan generasi yang berkualitas. Upaya penurunan permasalahan kesehatan termasuk stunting sudah lama dilakukan dan mengalami penurunan kasus. Namun, apakah kita dapat menyelesaikan permasalahan ini?

Permasalahan kesehatan bukan hanya milik tenaga kesehatan, namun milik kita bersama. Penting untuk memahami dan mencari akar masalah agar intervensi yang dilakukan dapat tepat sasaran. Jika hanya berfokus pada sektor kesehatan, saya yakin permasalahan kesehatan akan terus menerus menjadi pekerjaan rumah bagi kita. Apakah ada hubungan antara kesetaraan gender dengan permasalahan gizi di Indonesia?

Tentu saja ada hubungannya. Ketidaksetaraan gender akan meningkatkan pernikahan dini yang tidak diinginkan. Dampak pernikahan dini kebanyakan akan berpengaruh pada ibu dan dan anak. Kebanyakan perempuan yang menikah secara dini akan berisiko pada kesehatan, psikis dan pengetahuan yang rendah karena sesungguhnya perempuan muda belum siap untuk menikah. Contohnya perempuan yang menikah dini akan sering mengalami permasalahan pada kandungan dan tidak dapat merawat anak secara baik. Jika kita melihat kebanyakan anak yang mengalami permasalahan status gizi, disebabkan rendahnya pengetahuan orang tuanya.

Permasalahan ini bukan menjadi tanggungjawab satu sektor saja. Permasalahan kesetaraan gender merupakan tanggungjawab lintas sektor. Oleh karena itu, pentingnya dilakukan kolaborasi dan kerjasama lintas sektor untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dalam kegiatan IFLC, penulis dan delegasi lainnya mengusulkan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ketidaksetaraan gender terkhususnya pernikahan dini. Penulis mengusulkan beberapa upaya yang diperoleh berdasarkan kondisi yang penulis temukan di Papua Barat.

Cerita tentang kondisi di Papua Barat tidak jauh berbeda dengan kondisi yang ada di Indonesia. Sehingga cerita dan usulan upaya untuk mengatasi permasalahan pernikahan dini dari Papua Barat dapat diterapkan di tempat lain. Adapun beberapa usulan upaya yang ditawarkan adalah:

  • Kelas Pra Nikah

Kelas pra nikah merupakan sebuah upaya yang melibatkan peranan dari lintas sektor. Upaya ini bertujuan untuk memberikan edukasi agar terjadi peningkatan pengetahuan calon pengantin tentang pernikahan. Dalam kelas pra nikah, kedua calon pengantin akan diberikan pemahaman tentang kesetaraan gender sehingga masing-masing dari calon pengantin sudah memahami tentang pembagian peranan dan bisa saling mendukung satu sama lain.

  • Pendidikan Remaja Sebaya

Pendidikan remaja sebaya merupakan sebuah upaya yang diharapkan dapat menekan angka pernikahan dini. Dalam pendidikan remaja sebaya, kita akan menggunakan peran teman sebaya untuk saling mengingatkan, memotivasi dan menegur satu sama lain. Usia remaja merupakan masa pencarian jati diri dan orang terdekat pada usia remaja adalah teman sebayanya. Berharap melalui pendidikan remaja sebaya dapat mengingatkan pentingnya untuk berpacaran sehat, mengenal kesehatan reproduksi dan bahaya dari pernikahan dini.

  • Mother Support Group (MSG)

MSG pernah penulis singgung dalam tulisan sebelumnya. Sasaran MSG adalah ibu-ibu yang sudah menikah. Dalam upaya ini ditekankan terkait KADARZI (Keluarga Sadar Gizi) dan bagaimana cara mengasuh anak yang baik. Tidak bisa dipungkiri jika kasus pernikahan dini sudah banyak terjadi, maka dari itu kita berupaya untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan dari pernikahan dini tersebut. MSG menjadi sebuah wadah untuk ibu-ibu muda mendapatkan dukungan dan belajar menjadi seorang ibu yang dapat menyelamatkan dan memperhatikan kesehatan keluarganya.

Diundang untuk Memotivasi

Perjalananku menceritakan tentang Papuaku kepada Indonesiaku ternyata tidak berakhir di kota Makassar saja. Sebelum penulis kembali ke Manokwari, penulis mendapatkan undangan untuk transfer of knowledge kepada tenaga kesehatan di Baruppu, Toraja Utara. Tak pernah terfikirkan oleh penulis untuk diberikan kesempatan untuk memberikan motivasi kepada siswi di SMA Baruppu, Toraja Utara dengan topik Pernikahan Dini dan Kesehatan Reproduksi. Dalam kegiatan ini saya didampingi oleh rekan saya Suciati Marlinasyam, SKM yang merupakan tenaga ahli kesehatan masyarakat yang ada di Puskesmas Baruppu.

5
Penulis bersama siswi SMA Baruppu, Toraja Utara setelah pemaparan materi terkait Kesetaraan Gender dan Kesehatan Reproduksi.

Selama memberikan edukasi kepada siswi, saya baru memahami sebuah pembodohan klasik yang masih terus tertanam. Pembodohan yang mengatakan “setinggi apapun perempuan bermimpi, pastinya kami akan bekerja di dapur.” Banyak siswi yang memilih untuk menikah setelah lulus bahkan ada yang memilih untuk menikah jika ada yang melamar. Hal ini jadi tanggung jawab siapa?

Setelah menjelaskan tentang kesehatan reproduksi dan dampak pernikahan dini membuat siswi-siswi mulai sadar tentang permasalahan kesehatan yang dapat ditimbulkan apabila mereka menikah dini. Lalu, apakah kita akan terus membiarkan hal ini terus terjadi?

 

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑